Kasi Bimas Islam Isi Materi Kegiatan Manasik Haji Tingkat Kecamatan Rayon 1

Kuansing (Inmas), Memasuki hari ke enam Manasik Haji tingkat kecamatan Rayon 1 di kabupaten Kuansing, Kepala Seksi Bimas Islam H. Bahrul Aswandi, S.Ag.,MH mengisi materi pada sesi yang kedua, yang dilaksanakan di Musholla Al-Ikhlas Kantor Kemenag Kuansing Rabu (03/07/2019).

Manasik haji diikuti oleh Jemaah Calon Haji (JCH) yang berasal dari gabungan 5 kecamatan, diantaranya: kecamatan Kuantan Tengah, Sentajo Raya, Kuantan Mudik, Pucuk Rantau, dan Benai, yang berjumlah 88 orang.

Materi yang disampaikan oleh Kasi Bimas membahas tentang Rukun dan Sunnah haji. Menurut Kasi Bimas Islam, Rukun Haji merupakan sesuatu yang harus dilakukan pada saat pelaksanaan ibadah haji, dan bila ada yang ditinggalkan sampai waktu pelaksanaan haji selesai, maka hajinya otomatis batal, dan harus mengulang tahun berikutnya jika masih ingin menunaikan ibadah haji.

Sedangkan Sunnah Haji adalah sesuatu yang tidak berkaitan dengan sah atau tidaknya haji, tidak dikenai dam bila ditinggalkan, dan tidak berdosa bila ditinggalkan, meskipun dengan sengaja. Akan tetapi, pahala haji dirasa kurang sempurna bila tidak melakukan Sunnah Haji.

Hal berikutnya yang disampaikan oleh Kasi Bimas Islam adalah tentang syarat sah haji, diantaranya: 1) Dikerjakan pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada 10 hari pertama bulan Zulhijah. 2) Dilakukan sesuai urutan pelaksanaan haji, baik rukun haji maupun wajib haji. 3) Dikerjakan di tempat-tempat tertentu, yaitu Masjidil Haram untuk thawaf, Padang Arafah untuk wukuf, Bukit Safa dan Marwa untuk sa’i, Jamarat untuk melempat jumrah, serta Muzdalifah dan Mina untuk mabit. 4) Memenuhi semua syarat pelaksanaan serangkaian amalan dalam haji, misalnya thawaf, sa’i, dan seterusnya. 5) Bagi jemaah haji perempuan, ia harus didampingi suami atau laki-laki yang memiliki hubungan saudara dekat dengannya, mendapat izin suami, dan tidak sedang menjalani masa iddah.

Khusus untuk poin kelima, hal ini masih jadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ulama Hanafiyah dan Hambali mewajibkan seorang wanita untuk bermahrom, jika menempuh safar ke Makkah selama tiga hari yang merupakan jarak minimal. Sedangkan dari kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah, mereka membolehkan mahrom tersebut diganti, dan tidak mesti harus suami ataupun saudara dekat.

Mengenai mahrom, kedua pendapat tersebut boleh diambil salah satunya. Hal ini melihat dari pertimbangan keamanan, jika zaman dahulu wanita dianggap tidak akan aman bila bepergian sendirian, maka di zaman sekarang, wanita bisa dikatakan aman bila bepergian sendirian. Terlebih lagi pelaksanaan ibadah haji saat ini dilakukan secara berombongan, yang artinya ada seorang ketua yang bisa menjadi pengayom atau penanggung jawab bagi setiap rombongan ataupun regu. (N/R)

Anda mungkin juga berminat